Jumat, 28 Februari 2014

Peri Pohon Cemara #2

Ke Atas Bukit

“Milo, cepat bangun, Nak!” Ibu membangunkan aku yang masih mengantuk.
“Iya, Bu.” Jawabku masih memejamkan mata.
“Lekas mandi. Bawa domba-domba ke sungai.”
Pagi ini rasanya mataku berat sekali untuk terbuka. Mungkin karena tadi malam aku terlalu memikirkan tentang peri-peri itu dan juga ayah.  Tapi aku harus cepat sarapan dan membawa domba-domba ke sungai.
“Hati-hati, Milo. Jangan sampai domba-dombanya terbawa arus ke Hutan Frodo,” ujar nenek.
“Tenang saja, Nek. Aku akan menjaga domba-domba itu dengan sepenuh hati.”
Aku berjalan menggiring domba-domba ke padang rumput.  Di sana ada sungai mengalir mengitari bukit yang terhubung menuju hutan Frodo. Sungai ini tak begitu jauh dari rumah. Banyak   warga desa datang untuk mencuci, memandikan ternak, bahkan ada juga yang memancing di sungai ini. Sungainya tidak terlalu besar tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk desa. Di sungai ini aku suka bermain, memancing sekaligus menggembalakan domba. Sungai ini menyenangkan!
 “Hai, Milo! Ayo kita main! Kalau bersama domba terus nanti kau akan berubah jadi ayah domba.”
Sepertinya aku kenal suara itu. Itu Lupin, temanku. Dia anak tunggal,  sama sepertiku. Ayahnya adalah seorang  pandai besi dan Lupin sering membantu ayahnya sehingga badannya besar dan terlihat kuat. Dia agak nakal tapi dia baik padaku. Rumahnya tidak jauh dari sungai ini. Mudah untuk menemukan rumah Lupin karena rumahnya lebih besar dari rumah penduduk lain.
“Tidak bisa, Lupin. Aku harus mengurus domba-domba ini.”
“Ah, ayolah. Domba-domba itu tidak akan pergi kemana-mana. Percaya padaku!”
“Sudahlah, daripada banyak bicara, lebih baik kau membantuku memandikan domba-domba ini.”
Lupin menghela nafas. “Baiklah, apa boleh buat. Ini lebih baik dari pada aku bermain sendiri”
“Ini, pakai sikat ini.” Aku melempar sikat ke arah Lupin yang langsung ditangkap dengan tangan kanannya.
“Hei, Milo, kau tahu tidak?”
“Apa?”
“Cerita tentang peri di bukit Sliva”
“Ya, aku tahu. Nenek yang cerita padaku.”
“Bagaimana kalau nanti sore kita pergi ke sana? Kita cari peri-peri itu!”
“Jadi kau percaya peri itu ada? Itu hanya mitos, peri itu tidak ada. Lagi pula penduduk desa tidak ada yang berani pergi ke bukit Silva jika tidak beramai-ramai.  Kata ibuku, sebaiknya kita menjauh dari bukit apalagi hutan Frodo.”
“Ah, paling  itu hanya akal-akalan mereka agar kita tidak bermain ke hutan.”
“Terserah kau Lupin, tapi aku tak akan pergi kesana!”
Aku tahu, Lupin pasti ingin pergi ke hutan Frodo. Lebih baik aku tidak mengikuti kemauannya dari pada nanti kena masalah.
                Hari mulai terik, domba-domba telah selesai dimandikan. Lupin sudah pulang terlebih dahulu, dia bilang akan membantu ayahnya.
“Hei! Kembali!” salah satu domba tiba-tiba berlari ke arah bukit. Bagaimana ini? Aku kejar atau aku biarkan? Jika aku biarkan, ibu pasti marah padaku. Apa aku tinggalkan saja domba yang lain? Mereka pasti tidak akan kemana-mana jika ditinggal sebentar. Domba itu menyusahkan saja.
 “Hei, tunggu! Berhenti domba nakal!”
Domba itu tidak mau berhenti. Semakin kukejar semakin domba itu berlari menjauh seperti mengejar sesuatu. Ini berbahaya, dombanya lari ke atas bukit. Domba berhenti tepat di bawah pohon cemara besar. Kata nenek, pohon cemara ini adalah tempat peri Angelo tinggal. Tapi aku tidak percaya.
 “Akhirnya kau berhenti juga domba nakal!” Aku memukul pelan badan domba.
Aku baru sadar sekarang berada di puncak bukit. Dari tempat aku berdiri sekarang, aku bisa melihat hutan Frodo yang sebagian diselimuti oleh kabut. Aku belum pernah sedekat ini dengan hutan Frodo. Hutan itu terlihat menyeramkan.
“Ayo, domba! kita kembali ke sungai sebelum teman-temanmu menghilang. Harusnya kau aku ikat saja agar tidak lari.” Aku menggiring domba itu berjalan menuruni bukit.
 Tunggu, mengapa kepalaku terasa berat? Ah! Rasanya sakit sekali.  Semakin aku memegang kepalaku rasanya semakin pusing.

Hei, domba! jangan lari lagi! Pandanganku tiba-tiba buram, aku tidak dapat melihat dengan jelas keadaan di sekitar. Semua terlihat samar-samar. Siapa itu? Seperti ada seseorang berdiri tepat di hadapanku. Meskipun tidak jelas, aku masih bisa melihat kupu-kupu besar terbang menghampiriku, membuat pandanganku menjadi gelap. Seseorang tolong aku! Nenek, Ibu, Lupin, siapa saja tolong!

Kamis, 20 Februari 2014

Peri Pohon Cemara #1

Devan & Angelo
                Bulan malam ini indah, terlihat jelas  di atas bukit belakang desa.  Ibu membuat pai apel dan nenek membuat minuman dari campuran susu domba, kayu manis, dan madu.  Aku tak tahu namanya tapi ini sangat enak.
“Milo, cepat turun! Habiskan dulu makananmu,” suara Ibu memanggilku.
“Iya, Bu, sebentar.”
Ah, ibu. Kenapa selalu mengganggu kesenanganku? Aku suka berlama-lama di atas atap menatap bulan. Entah bulan purnama, bulan sabit, atau bulan yang hanya setengah, semua terlihat indah. Tapi, aku paling suka bulan sabit, terlihat seperti senyum ayah. Aku tak tahu di mana ayah sekarang tapi nenek bilang ayah pergi ke luar kota mencari obat untuk ibu.
“Milo, kemarilah, bawa susumu. Nenek mau bercerita.”
“Asik! Sebentar, Nek.”
Sambil memegang gelas kecil yang setengah penuh dengan hati-hati, aku duduk di samping nenek di depan api unggun. Nenek punya banyak cerita dongeng yang selalu membuatku tidak bisa beranjak dari tempat duduk sampai ceritanya selesai. Sudah banyak cerita nenek yang kudengar, dari mulai cerita saat dia masih muda, perang melawan naga, cerita bertemu jin di hutan Frodo, hingga cerita waktu Nenek dan Ayah melihat pelangi tiga warna di bukit Silva.
 Bukit Silva adalah nama bukit di belakang desa. Di sana ada hutan kecil yang letaknya agak jauh dari bukit, hutan itu bernama hutan Frodo. Aku tidak percaya semua cerita nenek karena ada beberapa cerita yang menurutku tidak masuk akal. Seperti cerita nenek saat bertemu jin dan perang melawan naga, misalnya. Menurutku  tidak ada naga atau jin di dunia ini. 
“Kamu ingat, Milo? Cerita tentang pelangi di bukit Silva?” Tanya nenek.
“Ya, tentu saja aku ingat, Nek.”
“Nah, di sana ada dua peri bernama Devan dan Angelo.”
“Benarkah?”
Nenek mengangguk pelan, “Ya. Devan adalah peri yang nakal. Dia suka membuat orang-orang tersesat di hutan Frodo. Orang yang tersesat di sana tidak akan bisa menemukan jalan keluar dan rasanya mereka seperti tersesat bertahun-tahun lamanya.  Kalaupun akhirnya mereka bisa menemukan jalan pulang, mereka sudah menjadi tua.”
“Lalu, Nek?”
“Mereka bisa kembali lagi ke usia mereka yang sebenarnya jika mereka meminta bantuan pada Angelo, si peri baik. Sayangnya, karena mereka sudah menjadi tua. Mereka menjadi pikun sehingga tidak bisa meminta bantuan pada Angelo.”
“Lalu bagaimana mereka bisa kembali seperti semula?” Aku mulai tertarik mendengar cerita nenek.
“Hmm, mungkin jika ada keluarga yang mengenal mereka dan membantu bertemu dengan Angelo, orang-orang yang tersesat itu bisa kembali ke usianya semula.”
“Oh, iya. Di mana Angelo dan Devan tinggal, Nek?”
“Devan tinggal di sebuah batu besar yang berada di pinggir sungai. Sedangkan Angelo berada di puncak bukit di atas pohon cemara yang paling besar.”
“Benarkah?” tanyaku agak tidak percaya.
“Tentu saja nenek benar.  Ah, nenek rasa ayahmu  mungkin pergi juga ke hutan Frodo saat akan ke luar kota.”
“Apa jangan-jangan ayah di culik Devan si peri jahat itu?”
“Entahlah, nenek juga tidak tahu. Semoga saja tidak.”
Aku membayangkan seperti apa sosok Devan si peri jahat itu. Apakah peri-peri itu benar ada? 
“Milo! ayo cepat tidur! Besok kamu harus mengambil kayu bakar dan memberi makan domba-domba.” Suara ibu  terdengar jelas memecahkan lamunanku.
Ah ibu, aku kan belum selesai mendengar cerita nenek.
“Iya, bu. Aku tidur sekarang. Nek, besok lanjutkan ceritanya lagi, ya!”
“Iya, nak. Besok nenek akan cerita lagi. Sekarang kamu tidur, ya.” Kata nenek sambil tersenyum.
Aku pergi ke kamar mandi untuk menggosok gigi, membasuh wajah,tangan dan kaki. Setelah itu aku melompat ke kasur, bersiap untuk tidur. Aku menarik selimut, menutupi badanku sampai leher.
Apa cerita nenek itu benar? Apa benar Devan dan Angelo itu ada? Apa Devan benar-benar menculik ayah?
Ah! Aku pusing. Terlalu banyak pertanyaan di kepalaku saat ini. Tapi aku harus mencari tahu kebenaran cerita nenek. Aku penasaran apakah cerita nenek itu benar. Jika benar, rasanya aku ingin pergi ke hutan Frodo mencari ayah.

Sebelum benar-benar memejamkan mata, aku bisa melihat bulan mengintip di balik jendela. Selamat tidur Ayah, selamat tidur Ibu, selamat tidur Nenek.

Rabu, 19 Februari 2014

Mawar untuk Sekar (bagian 2)

Minggu pagi ini cuacanya cerah, ayam berkokok seakan mengucapkan selamat pagi, daun-daun basah oleh embun bukan hujan, suasana desa memang menyenangkan. Ngomong-ngomong soal daun aku jadi ingat bunga mawar yang sekar minta, aku sendiri bingung bunga mawar spesial itu kayak gimana, ah sudahlah nanti saja aku pikirkan yang pasti aku sudah janji memberi dia mawar, apa aku tanam mawar saja ya? Nanti bulan depan aku bawa buat sekar, itu pun kalau sudah berbunga, aku belum pernah menanam tumbuhan apa lagi bunga mawar kecuali menanam toge itu juga karena tugas waktu masih SMA. Saat ini aku sedang ada di halaman depan menikmati udara pagi, duduk bersantai seperti ini memang bagus untuk menyegarkan badan dan pikiran
“aa… aa di mana?” terdengar suara kecil dari dalam rumah
“aa di depan sekar, sini”
tak lama sekar menghampiri
“a, jalan-jalan ke kebun teh yuk, sekar udah lama gak main ke kebun teh”
“ayo, pake jaket dulu sana”
sekar kembali ke dalam rumah mengambil jaket serta kupluk yang sewarna dengan jaketnya
“aku udah cantik belom a?”
“kamu selalu cantik ko, ayo jalan”
“hihi, eh gak pamit sama ibu?”
“ibu lagi ke pasar, kunci aja pintunya, ibu bawa kunci cadangan ko”
“oke siap bos”
sekar mengunci pintu lalu kita pun pergi ke kebun teh. kebun tehnya dekat rumah cukup berjalan kaki. Dari sana kita bisa melihat kota cipanas, eh kota bukan ya? Sebut saja demikian, terlihat gunung gede juga. Sedangkan rumahku di bawah gunung baut, jangan tanya kenapa namanya gunung baut soalnya aku juga gak tau.

Sekitar satu jam lebih kita berjalan-jalan di kebun teh, kita bertemu mang Asep yang suka jual bunga, katanya beliau mau ke kebun mawar yang letaknya agak jauh dari kebun teh dari desa itu kesana lagi, pokoknya jauh. ada teh cici juga, teh cici itu yang suka bantuin ibu di rumah, dia punya kebun bawang di dekat kebun teh, tapi gak selalu di tanam bawang kebetulan lagi musim bawang jadi teh cici nanem bawang. Sepanjang jalan tangan sekar  tak lepas dari genggamanku dia bilang terakhir dia ke kebun teh waktu ada acara jalan santai di sekolahnya, itu pun ibu ikut bersama sekar karena tau sekar gak bakal kuat berjalan terlalu lama. Sedang asik berjalan tiba-tiba sekar berhenti dan memegang dadanya
“sekar kenapa? Dadanya sakit?””
“I iya a, sesek”
“istirahat dulu yu di sana, aa gendong ya”
tanpa menunggu jawaban aku pangku sekar ke sebuah saung, wajahnya mulai pucat, aku jadi khawatir, ah kenapa tak dari awal ku gendong saja dia, aku bodoh
“masih sakit gak dadanya?”
“udah gak terlalu a, maaf ya sekar ngerepotin terus”
“jangan minta maaf, kamu kan adik aa, udah kewajiban aa jagain kamu” aku usap kepalanya yang sekarang sedang bersandar di bahuku “kalo udah mendingan kita pulang ya, nanti kamu aa gendong”
“enggak ah, sekar kuat ko jalan kaki”
“jangan maksain gitu, nanti kamu sesek lagi”
“iya deh, sekar di gendong” wajahnya terlihat tak setuju untuk di gendong, tapi tetap harus ku gendong, aku gak mau dia tambah sakit
“ayo pulang sekarang, udah mulai siang, sini naek ke punggung aa”
“sekar udah lama gak aa gendong, nanti lari ya a sampai rumah”
“ah gak mau, sekar kan udah gede sekarang, udah berat”
“ah a amah gitu” dia sedikit menggerutu. bukannya gak mau sekar, nanti kalo aa lari kamu juga ikutan cape terus sakit lagi, kamu gak boleh sakit. Dalam perjalanan pulang ternyata sekar tertidur, anak ini entah saat tidur atau terjaga selalu terlihat manis. Aku selalu bersyukur punya adik semanis sekar. Ibu ternyata sudah ada di rumah, aku rebahkan sekar di kamarnya, kamu sabar ya sekar nanti aa pasti bawain bunga mawar sepesial  yang sekar minta.
Sore ini aku harus kembali ke Jakarta, besok kan ada kuliah. Setelah mengepak barang dan beres-beres kamar aku siap kembali Jakarta. Ibu juga membawakan beberapa bekal buat aku di sana padahal aku sudah bilang tak usah tapi tetep aja maksa, namanya juga ibu
“bu aku berangkat ya?” aku cium tangan ibu
“iya a hati-hati ya, kalo sudah sampe jangan lupa kasih kabar”
“iya bu siap, loh sekar mana?”
“paling di kamarnya lagi nangis, tiap kamu pergi juga kan dia gitu”
“aduh itu anak masih aja, aku ke kamarnya dulu deh”
aku ketuk pelan-pelan pintu kamar sekar
“tuk tuk, sekar aa pergi ya”
“sekar gak mau liat aa pergi nanti sekar sedih” terdengar suaranya yang sedikit terisak
“lah kamu udah nangis itu, ayo sini cium pipi aa dulu sebelum aa berangkat”
“gak mau pokoknya gak mau!”
“yaudah aa berangkat ya dadah”
tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan dia meluk badan aku
“aa jangan pergi nanti sekar sendiri lagi”
“kan ada ibu, aa bakal sering nelepon ko” aku kecup keningnya “aa berangkat ya?”
“katanya ma ngasih sekar bunga mawar?”
“kan ulang tahunnya minggu depan, kalo ada rejeki aa minggu depan pulang”
“bener ya? Harus pulang!”
“iya kalo ada rejekinya, aa pergi sekarang ya”
“iya aa boleh pergi tapi harus pulang minggu depan”
“aduh ini anak satu, iya aa pulang deh”
“hihi” dia tertawa kecil “sini sekar cium dulu jidat sama pipinya” aku jongkok lalu sekar mencium pipi dan keningku
“aduh kebiasaan kalo nyium basah banget”
“biar ada kenang-kenangannya a, jangan di apus biarin aja kering sendiri”
“iya deh iya aa berangkat ya? Bu, sekar aku pergi Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam” jawab mereka kompak
sebenarnya berat meninggalkan ibu dan sekar tapi tetap harus berangkat, ini kan buat sekar dan ibu juga.
Entah kenapa hawa di Jakarta selalu panas, apa yang salah dengan kota ini? Orang-orang pun betah tinggal di sini padahal lebih enak tinggal di desa menurutku. Hari ini dosennya gak masuk jadi aku mau pergi ke rumah Rendra buat ngerjain tugas kelompok bersama-sama, memang sudah janji dari seminggu yang lalu sih. Rendra yang jemput aku di kostan, ya lumayan lah gak perlu ngeluarin ongkos soalnya rumah Rendra lumayan jauh dari kampus. Aku jadi inget sekar, padahal baru lima hari meninggalkan rumah tapi udah kangen sekar. Oh iya kemarin aku di kasih bibit mawar oleh teman, katanya bibit mawar ini cepat tumbuh paling Cuma beberepa minggu sudah berbunga, aku tanam di halaman kostan ku, aku sudah minta ijin ko  ke ibu kost buat nanem pohon mawarnya. Nanti kalo sudah berbunga aku bawa ke cipanas, pasti sekar senang.
“gema, lo duluan aja langsung ke kamar gue , gak ada orang di rumah gue mao ke mini market dulu beli cemilan. Eh nih koncinya” ujar Rendra seraya memberikan kunci rumahnya
“oke dra, gue nitip minuman yang biasa ya”
“buset demen amat minum teh susu, iya ntar gue beiin”
aku turun dari mobil Rendra, ia langsung pergi ke mini market. Padahal mini marketnya gak jauh, kalo aku jadi Rendra aku pasti jalan kaki. Aku langsung buka pintu rumah dan dan langsung menuju kamar Rendra. Rumah Rendra besar, kamarnya aja luasnya hampir 4 kali kamar kost ku. Biasanya ada pembantu tapi hari ini gak ada orang di rumahnya, aneh. Gak berapa lama Rendra sudah kembali bawa 2 pelastik besar berisi makanan, aku sudah siap mengerjakan tugas sedangkan Rendra baru saja tiba sudah sibuk dengan perutnya.
“ndra gue pinjem laptop dong”
“pake komputer aja ma”
“oh oke oke, gue nyalain ya”
“nyalain aja sih, kayak ke siapa aja. oh iya bab 1 ama bab 2 udah gue kerjain coba cek di data D folder tugas deh, ama sekalian periksa takut ada  yang salah”
“wah tumben lo udah ngerjain tugas? Kesambet?”
“eh gendut-gendut juga gue bukan pemalas”
“hahaha yaudah gue periksa dulu, lo kerjain soal akuntansi biaya yang halaman 306 deh bagian a sama b”
“ah males ah susah”
“lah tadi bilangnya bukan pemalas”
“sekarang jadi pemalas deh”
“si dodol emang”
ya Rendra emang gitu, kalo mata kuliahnya dia gak suka pasti males ngerjain soalnya. Kalo aku sih udah biasa ama sikap dia, soalnya dari awal kuliah ampe sekarang tingkat kemana-mana selalu sama Rendra, dia yang ngenalin kerasnya Jakarta dan mau temenan sama aku yang dari desa. dua jam mengerjakan tugas di depan layar lumayan juga bikin lelah mata. Rendra juga akhirnya selesai ngerjain tugas yang aku minta. Sambil beristirahat, aku makan cemilan yang Rendra beli dan sedikit ngobrol sama dia. Rendra selalu antusias kalo denger cerita tentang desa dan sekar, dia sudah tiga kali main ke rumahku di cipanas dan sekar juga akrab sama Rendra.
Suasana di luar agak mendung dan gerimis perlahan mulai turun. Wah lumayan pohon mawarnya pasti senang hujan turun soalnya tadi pagi cuacanya lumayan cerah kalo di Jakarta sih rasanya panas. Rendra masih asik menghabiskan cemilan, gimana badan dia gak gede, wong makan cemilan hampir abis sama dia sendiri. Aku merasa telepon genggam ku bergetar. wah dari ibu tumben ada apa ya
“assalamualaikum, halo bu”
“aa, aa di mana?”
“aku lagi di rumah Rendra bu, lagi ngerjain tugas”
“aa bisa pulang gak? Sekar pingsan tadi di sekolah, sekarang di rumah sakit soalnya belum sadar”
aku terhenyak seketika, kamu kenapa sekar? Kamu gak kenapa-kenapa kan? Kamu gak boleh sakit sekar
“a? gimana? Bisa pulang?”
“eh iya bu bisa, aku pulang sekarang”
ibu mematikan telepon tanpa mengucapkan salam, aku masih ragu ini mimpi atau apa. Dada ku sesak, aku bingung harus gimana. Tiba-tiba Rendra menyadarkan lamunanku
“ma, gema? Lo kenapa?”
“sekar dra”
“hah? Sekar kenapa?”
“nyokap bilang dia pingsan gue gak tau pingsan kenapa tapi nyokap bilang dia di rumah sakit dan belom sadar”
“yaudah kita ke cipanas sekarang, ayo cepet”
“gue sendiri aja dra, gak enak ngerepotin lo terus”
“yaelah ini genting, jangan gitu lah gue kan temen lo ma”
“maaf ya dra, gue jadi gak enak”
“iya udah, ayo cabut”
aku dan Rendra meninggalkan rumah yang masih berantakan, jalan terlihat agak padat entah perasaanku yang gelisah karena ingin cepat sampai atau memang benar macet . Rendra memacu mobil secepat yang ia bisa. Menurut pesan yang ibu kirim dokter bilang jantung sekar sangat lemah, dokter sendiri masih memeriksa keadaan sekar. sepanjang jalan aku hanya melamun dan ingin cepat sampai tentunya, Rendra coba menenangkan tapi aku tak banyak mendengar apa yang dia bilang. Di benakku Cuma terbayang sekar, kamu Cuma lelah sekar kamu hanya tertidur aa bentar lagi sampai kamu tunggu ya. Entah kenapa perjalanan terasa begitu jauh, aku langsung teringat waktu sekar nangis karena aku harus pergi ke Jakarta, dia mencium pipiku sampai basah karna dia bilang biar ada kenang-kenangan, waktu sampai di Jakarta aku telepon  ibu, cuma mau bilang kalo aku sudah sampai lalu sekar mengambil telepon genggam ibu dan bilang “aa jangan lupa minggu depan pulang ya, bawa bunga mawar”.
Aku tiba di rumah sakit, di sini jaringannya jelek, aku tak bisa menghubungi ibu. Aku dan Rendra mencari ruangan tempat sekar di rawat dengan panik. Sekar kamu dimana? Aa sudah sampai. ini ruangan sekar aku yakin ini ruangannya, tapi kenapa aku mendengar suara tangis di dalam? Itu seperi suara ibu. Ah ini halusinasi, sekar baik-baik saja aku yakin. Aku buka pintu ruangan, aku melihat pria berseragam putih berdiri di sebelah wanita berbaju biru dengan kerudung yang berantakan sedang terisak di sebelah kasur. Ah itu ibu, ibu mengapa kau menangis? Dia atas kasur itu ada tubuh mungil yang tertutup selimut sampai kepala, ah jangan-jangan itu?
“aa… sekar a…” ibu terisak dalam aku tak bisa berucap, air mata ini tiba-tiba menetes dengan sendirinya, sekar? Kamu Cuma tidur kan? Kamu jangan tinggalin aa, aa kan mau ngasih bunga mawar. aku peluk tubuh mungil yang sudah kaku di depan ku, aku buka selimutnya terlihat wajah cantik yang sedang tersenyum. Wajahnya sudah pucat tapi masih terlihat cantik. Sekar kenapa kamu ninggalin aa? Kamu gak sayang sama aa? Sekar sebentar lagi bunga mawarnya tumbuh. Aa mau ngasih kamu bunga mawar, kamu jangan dulu pergi sekar. Aa sayang kamu sekar kamu jangan pergi.
seketika awan muram, lalu hujan bergelayut
apa harus ku usik dunia hingga kau bisa tertawa kembali?
kelopak itu bahkan belum kuncup, masih hijau
ya Tuhan, sekiranya aku benar
mungkin bidadari harus kembali ke surgamu
dia akan memandangku dengan senyum
aku akan menumbuhkan bunga
menepati janji yang tak tersampaikan
jikalau nanti  saatnya mekar
sekar itu kusebut mawar

                tugas sekar di dunia hanya sebentar, sekarang dia tertidur di samping ayah. Aku hanya bisa membayangkan waktu ku yang terlalu sebentar bersamanya. Aku hanya terbayang kenangan yang belum sempat ku buat bersama sekar. Aku hanya bisa mengatakan seandainya saja ini atau itu, tapi tak ada yang berubah. Sekar telah pergi, mungkin surga membutuhkannya. Bibit mawar yang ku dapatkan, aku tanam disamping makam sekar, saat ini sudah berbunga dan bunganya mekar dengan indah, mawar spesial yang seharusnya ku hadiahkan untuk ulang tahun sekar. Terimakasih sekar kamu hadir di dunia, tawamu yang hangat selalu mengobati lelahku, celotehmu dan candamu selalu aku ingat di tengah kesibukanku, maaf aa belum bisa menjadi aa yang baik. Maafin aa sekar, aa sayang kamu.

stay in my blog

Selasa, 18 Februari 2014

Mawar untuk Sekar (bagian 1)

Aku gema, mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di daerah khusus Ibu kota Jakarta. Aku ingin sedikit bercerita jika kamu mau baca maka aku senang.
Aku  hidup bersama  adik perempuan dan ibuku, ayahku sudah lebih dahulu mengakhiri tugasnya di dunia ketika adikku lahir ke dunia. Adikku bernama Sekar, dia baru kelas 2 SD. dia merupakan perempuan yang cantik dan riang, berambut panjang dan senang sekali di sisir lalu setelah itu minta ibu buat mengepang rambutnya. Sayangnya badannya lemah dan sering sakit jadi dia tidak sering main di luar rumah kecuali aku yang ajak. Dia itu manja, tapi aku maklum ya namanya juga anak bungsu jadi taka pa buatku.
Aku tinggal di sebuah tempat kost di Jakarta sedangkan adik dan ibu tinggal di rumah peninggalan ayah di desa, desanya di daerah Cipanas-Cianjur, desa yang tepat di kaki gunung dengan pemandangan alam yang memukau, kalau kamu ada waktu kamu boleh main ke rumahku. Di Jakarta aku kerja sebagai guru les. Aku gak mau ngebebanin ibu dengan biaya kuliah yang mahal setidaknya ibu bisa menyisihkan uangnya buat biaya sekolah Sekar sampai nanti aku lulus dan punya pekerjaan tetap biar aku yang membiayai Sekar. Aku selau rindu Sekar, setiap aku pulang dia bakal menyambutku “aa selamat datang” lalu lari dan memelukku,  Aa itu ungkapan buat kakak laki-laki dalam bahasa sunda . sebulan sekali aku pulang kerumah untuk sekedar lepas rindu dengan ibu dan Sekar, juga tentu saja membersihkan makam ayah. Jika aku pergi lagi ke Jakarta Sekar pasti nangis terus bilang “aa kuliah di sini aja temenin Sekar”. Ah Sekar, kamu harus sabar, aa kuliah juga kan buat kamu nanti.
Hari ini hujan rintik mulai turun, aku sedang dalam bis di perjalanan menuju rumah. hari ini aku bawa baju baru buat Sekar, sebenarnya ulang tahunnya masih minggu depan tapi aku kan hanya satu bulan sekali pulang ke cipanas. aku belum bisa beli barang mewah buat sekar ya semoga Sekar senang.

“Assalamualaikum” ku ucapkan salam sambil ku ketuk pintu rumah
“ibu itu aa, ibu itu aa bu, biar Sekar yang buka” aku mendengar suara Sekar berteriak dari dalam
lalu pintu terbuka “aa selamat datang” Sekar langsung meluk dengan erat
“ih aa bau bis”
“lah emang Sekar tau bau bis kayak gimana?”
“tau dong”
“kayak gimana?”
“kayak aa hahaha” Sekar ketawa dengan riang
“hahaha kamu ini ya bandel” aku acak-acak rambut Sekar, nyebelin ini anak bilang aku bau bis
“aa mah rambut Sekar jadi berantakan, baru di sisirin ibu tau”
“biarin wleee, ibu mana?”
“tadi di dapur a” jawab Sekar
“Sekar…. Gema…. Sini makan dulu” tiba-tiba suara nyaring ibu terdengar sepertinya dari ruang makan, aku pun masuk dan ke ruang makan bersama Sekar setelah membuka sepatu tentunya
“assalamualaikum bu” aku menghampiri ibu sambil mengulurkan tangan dan mencium tangannya
“waalaikumsalam, gimana kuliahnya a? lancar kan?”
“Alhamdulillah bu lancar, ya tugas emang numpuk namanya juga kuliah bu”
“kamu kalo gak bisa pulang jangan maksain pulang lah…. Yang penting kuliah kamu cepet selesai”
“gak bisa gitu bu…” tiba-tiba Sekar memotong pembicaraan “aa harus pulang, Sekar kan kangen sama aa” lalu Sekar mendekap tanganku
“iya Sekar aa kan ini pulang buat Sekar” aku elus rambutnya lalu aku kecup keningnya
“tuh bu, aa pasti pulang buat Sekar” dia senyum dengan manis
“kamu kapan ke Jakarta lagi a?” Tanya ibu
“lusa bu kayak biasa”
“yasudah makan  dulu abis itu mandi terus shalat lalu istirahat”
“aa shalatnya berjamaah ama Sekar ya? Sekar jadi imam”
“lah ko imam? Sekar jadi makmum”
“iya maksud Sekar, Sekar jadi makmum”
“ah kamu mah ngaco yaudah abisin makannya”
setelah itu kita makan dengan khusyuk, Sekar terlihat makan dengan lahap, aku jadi senang melihatnya. Setelah selesai  semuanya, aku berdiam diri di kamar sekedar merebahkan badan juga sesekali melihat tugas-tugas kuliah. Wah ternyata tugasnya lumayan sulit, aku sudah berjanji mengerjakan bersama teman-temanku saat nanti kembali ke Jakarta. Oh iya aku punya kado buat Sekar aku hampir lupa, “tuk tuk” aku dengar pintu kamar di ketuk
“aa Sekar boleh masuk?” oh ternyata Sekar
“iya sayang boleh, sini masuk” jawabku
“aa lagi apa?”
“lagi istirahat, ini sambil liat tugas-tugas kuliah”
“aa cape gak? Mau Sekar pijitin?”
“wah boleh tuh,  sini pijitin pundak aa” ujarku sembari menepuk pundak
Sekar pun naik ke atas kasur lalu berdiri di belakangku
“Sekar pukul-pukul aja ya?”
“iya boleh, jangan kenceng-kenceng mukulnya ya”
“iya a, a Sekar mau nanya”
“boleh, nanya apa?” wah tumben Sekar keliatan serius
“aa punya pacar gak?” Tanya Sekar sambil tangan mungilnya masih memukul-mukul pundakku
“emang kamu ngerti pacar itu apaan?”
“itu kayak yang di tivi a”
“hahaha kamu mah kebanyakan nonton tivi”
“aa kangen ayah gak?” aku terdiam sejenak, aku harus jawab apa? Ayah meninggal dua hari setelah Sekar lahir, beliau meninggal karena kecelakaan saat sedang mengerjakan tugasnya mencari nafkah untuk keluarga kecil kami
“aa ko diem?” tiba-tiba Sekar memecah lamunanku
“eh iya, iya aa kangen ayah, kenapa emangnya?
“Sekar Cuma tau ayah dari foto, tapi ayah mirip aa, jadi aa sekarang udah Sekar anggap ayah. Boleh kan a?”
“iya sayang boleh ko” tiba-tiba  dadaku sesak entah mengapa jawaban Sekar begitu menyesakkan “eh iya Sekar, aa punya hadiah buat Sekar”
aku ambil tas ranselku, aku ambil baju yang masih terbungkus plastik, bajunya lengan panjang berwarna ungu dengan dua kancing dan gambar kartun kesukaan Sekar
“asik Sekar dapet baju baru, wah ada gambar dora” Sekar melompat mengambil bajunya, lalu memelukku erat “aa makasih ya Sekar seneng, ini hadiah ulang tahun Sekar ya? Aa baik deh”
“lah aa kan emang baik dari dulu juga”
“dulu mah enggak hahaha”
“coba pake dulu cukup gak” Sekar segera memakai baju barunya tanpa melepas baju yang sedang ia pakai
“pas a pas nih” dia tersenyum riang, kalo aja Sekar tau cuma senyum dia yang bisa menghapus lelah yang ku rasa saat ini
“a tau gak?”
“apa sayang?”
“aku nanti ulang tahun mau dapet kado bunga mawar”
“ko mau mawar?”
“mawar itu bagus a indah, warnanya merah. Tapi Sekar mau mawar yang spesial cuma buat Sekar”
“nanti aa beli di mang asep deh ya”
“ah aa mah itu gak spesial”
“yang spesial yang gimana?”
“yang buat Sekar pokoknya” dia mengerutkan dahi sambil bertolak pinggang
“yasudah nanti aa kasih yang spesial buat bunga”
“bener ya? Aa harus janji”
“iya janji, eh kamu gak belajar?”
“eh iya, aku ada PR a, bantuin ya”
“iya sini bawa PRnya” lalu Sekar lari ke kamarnya, mengambil beberapa buku tulis dan LKS, ternyata PRnya banyak juga.
                Pukul sepuluh PR Sekar telah di selaikan semua, ia pun terlelap di atas tumpukan buku yang berserakan di kasurku. Biarlah malam ini dia tidur bersamaku. Aku rapihkan semua bukunya dan membetulkan posisi tidur sekar. Aku selimuti dia dan aku kecup keningnya. Selamat tidur Sekar, aa sayang kamu

bersambung….


stay in my blog

Kamis, 06 Februari 2014

bahagia itu sederhana/relatif (?)

Kata Tara bahagia itu sederhana menurut gue bahagia itu relatif, kenapa? Karena gak semua yang sederhana menurut kita, menurut orang lain itu sederhana atau sebaliknya atau pun menurut kita itu bahagia dan sederhana tapi bisa aja menurut orang lain itu ribet atau rumit
Banyak hal yang bikin gue bahagia di bumi ini, liat bulan itu bikin bahagia, liat ade gue ngigo itu bikin gue bahagia, keliatan bego gara-gara ngobrol ama anak umur 4 tahun itu juga menurut gue bikin bahagia
yap, sebenernya simple tapi tetep aja menurut gue relatif. Kayak misalnya pas 3 hari yang lalu gue lagi ngumpul damai ama temen-temen gue terus ade gue tiba-tiba telepon  cuma pengen bilang dia dari kota bunga (daerah wisata dan perumahan) dan abis jalan-jalan dan banyak korma-kormaan. Jadi menurut ade gue kalo orang Indonesia itu kan ada cabe-cabean nah korma-kormaan itu turis arab. Emang gaje sebenernya tapi itu bikin gue dan temen-temen gue ketawa dan bahagia ko atau sekedar percakapan kecil sama anak umur 4 tahun namanya ipal  (adenya gita) kayak gini nih
Jadi posisinya ipal lagi nonton kartun dan gue lagi ngupil di sebelah dia
Ipal : om iyeu lauk naon nu badag? (om ini ikan apa yang gede?)
gue : nu mana de? (yang mana de?)
ipal : nu iyeu nu badag *nunjuklayar* (yang ini yang gede)
gue : oh paus
ipal : lain da (bukan ko)
gue : hah? Naon atuh? (lah? Menurut lo?)
ipal : paus *diem lima detik, nengok, nyengir kemenangan*
gue : *diem*

that’s simple gitu gue di begoin anak kecil dan menurut gue itu bikin bahagia karena gue tau ada anak kecil yang secerdas itu padahal umurnya 4 tahun
nah banyak orang yang ribet akan dirinya, mereka yang tertekan ama kerjaan, tugas kuliah, pasangan, keluarga dan banyak hal yang lainnya. Seperti yang tara bilang bahagia itu sederhana dan tara bener tapi kalian bisa nyari kebahagiaan tersendiri yang sesuai buat kalian makanya gue bilang bahagia itu relatif. Gak perlu makan di kafe mewah atau atau pergi ke pantai yang pasirnya putih kayak pake obat pemutih, gak perlu. Kalian bisa sekedar ngumpul ama temen buat minum teh atau ngopi berbagi pengalaman, atau ngobrol ama anggota keluarga, atau saling berbagi cerita ama pasangan atau apa kek yang menurut kalian mudah dan gak perlu keluar modal banyak, Its easy ko.
saat kalian ngomong atau menyanpaikan ke orang lain, coba Tanya dulu diri sendiri apa kalian udah bahagia? Kalo belom coba bikin diri sendiri bahagia, kalo belom coba sebarkan jangan di rasain sendiri pelit!!!!
jadi coba buat diri kalian bahagia dengan hal sederhana menurut kalian, gak perlu ribet mikirin Farhat Abbas atau Rhoma Irama itu malah bikin kesel. gue aja kesel ama Farhat tapi yaudah gitu dengan membicarakan dia itu gak bikin bahagia ntar ngerusak otak mending mikirin hal laen atau melakukan hal lain yang sekali lagi bikin bahagia


Stay in my blog